Rabu, 17 Juni 2015

Ramadhan 1436 H : Ada apa di garis depan Palestina dan Suriah?

- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2015/06/17/ramadhan-1436-h-ada-apa-di-garis-depan.html#sthash.b2ralQgF.dpuf
Ramadhan 1436 H : Ada apa di garis depan Palestina dan Suriah? - See more at: http://www.arrahmah.com/news/2015/06/17/ramadhan-1436-h-ada-apa-di-garis-depan.html#sthash.b2ralQgF.dpuf
Ramadhan 1436 H : Ada apa di garis depan Palestina dan Suriah? - See more at: http://www.arrahmah.com/news/2015/06/17/ramadhan-1436-h-ada-apa-di-garis-depan.html#sthash.b2ralQgF.dpuf

Pengertian Najis dan Hukum-hukumnya


A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa najis bermakna al qadzarah ( القذارة ) yang artinya adalah kotoran.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, najis menurut definisi Asy Syafi’iyah adalah:
“Sesuatu yang dianggap kotor dan mencegah sahnya shalat tanpa ada hal yang meringankan.”[1]
Dan menurut definisi Al Malikiyah, najis adalah:
Sifat hukum suatu benda yang mengharuskan seseorang tercegah dari kebolehan melakukan shalat bila terkena atau berada di dalamnya.”[2]
B. Hukum-hukum Terkait Najis
Ada beberapa ketetapan hukum syariah yang perlu untuk diperhatikan terkait dengan benda-benda najis atau terkena najis.
1. Tidak Berdosa Menyentuh Najis
Berbeda dengan ketentuan najis pada agama-agama samawi sebelumnya, yang mengharamkan umatnya bersentuhan dengan benda-benda najis, dalam syariat Islam, seorang muslim tidak berdosa bila tersentuh najis atau menyentuhnya dengan sengaja.
Konon dalam agama Yahudi Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan ketentuan yang amat keras tentang najis. Di antaranya, bila seseorang terkena najis pada pakaiannya, maka pakaiannya itu tidak bisa lagi disucikan untuk selama-lamanya. Jadi pakaian itu harus dibuang, atau bagian yang terkena najis harus dirobek, dan ditambal dengan kain baru.
Dan bila najis itu tersentuh pada badan, maka kulitnya harus dikelupas, lantaran benda yang terkena najis tidak bisa selamanya disucikan.
Sedangkan seorang muslim tidak diharamkan untuk bersentuhan dengan benda-benda najis, asalkan bukan sedang menjalankan ibadah ritual yang membutuhkan kesucian dari benda najis.
Profesi sebagai petugas kebersihan menjadi halal dalam agama Islam, meski setiap hari bergelimang dengan najis.
Demikian juga seorang muslim boleh bekerja sebagai penyembelih hewan, meski setiap hari tangannya bersimbah dengan darah dan kotoran. Dan menjadi petugas mobil tinja juga tidak haram, meski setiap hari bergelimang dengan isi septik tank.
2. Syarat Ibadah
Seorang muslim baru diwajibkan untuk mensucikan dirinya dari benda-benda najis yang terdapat pada badan, pakaian dan tempatnya, manakala dia akan melakukan ibadah ritual tertentu.
Karena suci dari najis adalah syarat sah dalam ritual beribadah, dimana seseorang tidak sah menjalankan shalat bila badan, pakaian atau tempat shalatnya tidak suci dari najis.
Maka pada saat itulah dibutuhkan cara berthaharah yang benar, sebagaimana yang diajarkan dalam ketentuan syariat Islam.
3. Haram Dimakan
Meski boleh bersentuhan dengan benda-benda najis, namun seorang muslim haram hukumnya untuk memakan, meminum atau mengkonsumsi benda-benda yang jelas-jelas hukumnya najis, meski dengan alasan pengobatan.
Keharaman mengkonsumsi benda-benda najis merupakan kriteria nomor satu dalam daftar urutan makana haram.[3]
Dalil yang menjadi dasarnya pengharamannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS Al A’raf: 157)
Piring Bekas Orang Kafir
Piring, gelas dan alat-alat makan bekas orang kafir terkadang menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah suci atau tidak?
Sesungguhnya ludah dan tubuh orang kafir itu suci dan bukan benda najis, sehingga kalau masalahnya hanya semata-mata makanan bekas orang kafir, tidak ada masalah dalam hal kesuciannya ,sebagaimana kisah dalam hadits berikut ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata’Ke kanan dan ke kanan’.” (HR. Bukhari)
Namun yang jadi masalah adalah bila orang kafir itu memakan makanan yang dalam pandangan syariah hukumnya najis, seperti khamar, anjing, babi, bangkai atau hewan-hewan lain yang diharamkan, apakah alat-alat makan bekas mereka itu lantas digeneralisir secara otomatis selalu menjadi najis, walaupun secara zahir tidak nampak?
Dalam hal ini, umumnya para ulama tidak mengharamkannya bila tidak nampak secara zahir sisa bekas benda-benda najis di dalam alat-alat makan bekas mereka.
Umumnya mereka hanya hanya memakruhkan bila seorang muslim makan dengan wadah bekas orang kafir yang belum dibersihkan atau disucikan. Sehingga hukumnya tetap boleh dan makanan itu tidak menjadi haram.
Semua itu hukumnya boleh bila hanya sekedar berdasarkan rasa ragu saja. Namun bila jelas-jelas ada bekas najisnya secara kasat mata, maka haram hukumnya memakan dari wadah itu, kecuali setelah disucikan.
4. Haram Digunakan Beristijmar
Beristinja’ adalah mencusikan dan membersihkan sisa bekas buang air kecil atau buang air besar. Bila menggunakan benda selain air, disebut dengan istilah istijmar.
Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kita beristijmar dengan menggunakan benda-benda najis, seperti kotoran hewan atau tulang bangkai, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits berikut ini:
Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kita beristinja’ dengan tahi atau tulang. (HR. Muslim Abu Daud dan Tirmizy)
5. Haram Diperjual-belikan
Pada dasarnya secara umum benda najis itu haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan hadits berikut ini:
Dari Abu Daud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda,”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melaknat orang-orang Yahudi, lantaran telah diharamkan lemak hewan, namun mereka memperjual-belikannya dan memakan hasilnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun dalam detail-detaiknya, ternyata para ulama agak sedikit bervariasi ketika menetapkan tentang boleh tidaknya. Di antara mereka ada yang mengharamkan secara mutlak, kalangan yang mengharamkan jual-beli sebagian dari benda najis dan menghalalkan sebagian lainnya, bila memang bermanfaat dan dibutuhkan.
a. Kotoran Hewan
Dalam pandangan mazhab Al Hanafiyah pada dasarnya benda najis itu haram untuk diperjual-belikan, namun bila bisa diambil manfaatnya, hukumnya boleh.[4]
Kotoran hewan adalah benda najis, maka haram diperjual-belikan. Namun bila yang diperjual-belikan adalah tanah, namun tercampur kotoran hewan, dalam pandangan mazhab ini hukumnya boleh. Karena yang dilihat bukan kotoran hewannya, melainkan tanahnya.
Artinya, kalau semata-mata yang diperjual-belikan adalah kotoran hewan, hukumnya masih haram. Tetapi kalau kotoran hewan itu sudah dicampur dengan tanah sedemikian rupa, meski pada hakikatnya masih mengandung najis, namun mereka tidak melihat kepada najisnya, melainkan kepada tanahnya.
Sedangkan mazhab Asy Syafi’iyah secara umum tetap mengharamkan jual-beli kotoran hewan, walaupun sudah dicampur tanah dan untuk pupuk.
b. Kulit Bangkai
Kulit bangkai hukumnya najis karena itu juga menjadi haram untuk diperjual-belikan. Namun bila kulit itu sudah disamak, sehingga hukumnya menjadi suci kembali, hukumnya menjadi boleh untuk diperjual-belikan. Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Janganlah kamu mengambil manfaat bangakai dari ihab (kulit yang belum disamak) dan syarafnya. (HR. Abu Daud dan At Tirmizy)
Kulit hewan yang belum dilakukan proses penyamakan disebut ihab ( إھاب ). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang bila kulit itu berasal dari bangkai, tapi hukumnya menjadi boleh bila telah mengalami penyamakan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,”Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci.” (HR. Muslim)
Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)
Namun ada juga pendapat ulama yang tetap menajiskan kulit bangkai, meski telah disamak, yaitu sebagian ulama di kalangan mazhab Al Malikiyah. Sehingga dalam pandangan mereka, jual-beli kulit bangkai pun tetap diharamkan. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al Kharasyi dan Ibnu Rusydi Al Hafid. Ibnu Rusydi menyebutkan, meski bahwa penyamakan tidak ada pengaruhnya pada kesucian kulit bangkai, baik secara zhahir atau pun batin.[5]
Mazhab Asy Syafi’iyah juga melarang jual-beli kulit bangkai, karena hukumnya najis dalam pandangan mereka.
c. Hewan Najis dan Buas
Meski termasuk hewan najis, namun karena bisa bermanfaat, dalam pandangan mazhab ini, boleh hukumnya untuk memperjual-belikan anjing, macan atau hewan-hewan buas lainnya, bila memang jelas ada manfaatnya.
Di antara manfaat dari hewan buas ini adalah untuk berburu, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memang membolehkan umat Islam berburu dengan memanfaatkan hewan buas.
(Dihalalkan bagimu buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).(QS Al Maidah: 4)
Sedangkan anjing hitam atau sering diistilahkan dengan al kalbul ‘aqur (الكلب العقور), ada nash hadits yang secara tegas melarang kita untuk memperjual-belikannya, bahkan ada perintah buat kita untuk membunuhnya.
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Lima macam hewan yang hendaklah kamu bunuh dalam masjid, yaitu tikus, kalajengking, elang, gagak dan anjing hitam. (HR. Bukhari Muslim)
Namun dalam pandangan mazhab Asy Syafi’iyah, hewan-hewan yang buas itu tetap haram untuk diperjualbelikan, meski bermanfaat untuk digunakan dalam berburu.
d. Khamar
Termasuk yang dilarang untuk diperjual-belikan karena kenajisannya adalah khamar, dimana umumnya para ulama memasukkan khamar ke dalam benda najis. Dan memang ada dalil yang secara tegas mengharamkan kita meminum serta memperjual-belikannya.
Yang telah Allah haramkan untuk meminumnya, maka Allah juga mengharamkan untuk menjualnya. (HR. Muslim)
e. Daging Babi
Termasuk juga ikut ke dalam keumuman larangan dalam hadits ini adalah daging babi. Daging babi itu haram dimakan, maka otomatis hukumnya juga haram untuk diperjual-belikan.
6. Haram Ditempatkan Pada Benda Suci

Termasuk yang dilarang untuk dilakukan dalam syariat Islam adalah menghina tempat-tempat suci dengan benda najis, seperti haramnya memasukkan benda-benda najis ke dalam masjid. Juga haramnya menempelkan benda najis ke mushaf Al Quran yang suci dan mulia.[6]

Selasa, 16 Juni 2015

Fikih Ringkas Syafi’i tentang Puasa

Amalan yang mulia tentu saja harus dimulai dengan ilmu terlebih dahulu. Karena kita sebagai seorang muslim tidak boleh beribadah serampangan. Kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang diperbuat lebih banyak daripada kebaikan yang diraih.” (Majmu’ Al Fatawa, 2: 382). Jadi, biar ibadah puasa kita tidak sia-sia, dasarilah dan awalilah puasa tersebut dengan ilmu.
Kali ini Buletin At Tauhid akan mengetangahkan kajian puasa secara ringkas yang banyak merujuk pada Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Ghoyatul Ikhtishor) karya Al Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i (433-593 H), di samping ada tambahan pula dari penjelasan ulama lainnya.

Puasa secara bahasa berarti menahan diri (al imsak) dari sesuatu. Sedangkan secara istilah, puasa adalah menahan hal tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu dengan memenuhi syarat tertentu. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 248).
Dalil Kewajiban Puasa
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.
Dari hadits shahih, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) haji, (5) puasa Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih).  Bahkan ada dukungan ijma’ (konsensus ulama) yang menyatakan wajibnya puasa Ramadhan.
Syarat Wajib Puasa
Kata Abu Syuja’, ada empat syarat wajib puasa: (1) islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) mampu menunaikan puasa.
Rukun Puasa
Disebutkan Matan Ghoyatul Ikhtishor, rukun puasa itu ada empat: (1) niat, (2) menahan diri dari makan dan minum, (3) menahan diri dari hubungan intim (jima’), (4) menahan diri dari muntah dengan sengaja.
Niat puasa Ramadhan barulah teranggap jika memenuhi tiga hal:
1- At tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Shubuh.
Dari Hafshoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. An Nasai no. 2333, Ibnu Majah no. 1700 dan Abu Daud no. 2454. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
2- At ta’yiin, yaitu menegaskan niat, yaitu harus ditegaskan apakah puasa wajib ataukah sunnah.
3- At tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya. (Lihat Al Fiqhul Manhaji karya Syaikh Musthofa Al Bugho, dkk, hal. 340-341).
Kalau ada yang bertanya bagaimanakah niat puasa Ramadhan, maka mudah kami jawab, “Engkau berniat dalam hati, itu sudah cukup.” Karena niat itu memang letaknya di hati. Jadi jika di hati sudah berkehendak mau menjalankan puasa Ramadhan keesokan harinya, maka sudah disebut berniat. Salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad Al Khotib berkata, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Ar Roudhoh.” (Al Iqna’, 1: 404).
Sepuluh Pembatal Puasa
Yang membatalkan puasa ada 10 hal sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’:
(1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala, (3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur
Patokan makan atau minum bisa jadi pembatal: jika ada yang masuk dari luar ke dalam perut lewat saluran yang terbuka dan dilakukan dengan sengaja dalam keadaan berpuasa. Yang dimaksud jauf di sini adalah berupa rongga. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah contoh yang jadi pembatal adalah tetes telinga karena tetes tersebut masuk dari luar ke perut melalui rongga terbuka. Sedangkan menggunakan celak tidaklah termasuk pembatal -kata ulama Syafi’iyah- karena mata bukanlah saluran yang sampai ke rongga perut. Sedangkan menelan ludah tidak membatalkan puasa karena berasal dari dalam tubuh. Lihat penjelasan ini dalam Kifayatul Akhyar, hal. 249.
Komentar: Pada kenyataannya, dalil begitu jelas menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa hanyalah makan dan minum saja. Ini berarti bahwa yang dianggap membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk menuju perut (lambung). Inilah yang menjadi batasan hukum dan jika tidak memenuhi syarat ini berarti menunjukkan tidak adanya hukum. Sehingga pendapat terkuat dalam masalah ini, yang dimaksud al jauf adalah perut (lambung), bukan organ lainnya dalam tubuh.
Juga ditambahkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman artinya bisa mengenyangkan, bukan segala sesuatu yang masuk dalam perut. Alasan yang mendukung hal ini karena yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita.
(4) muntah dengan sengaja
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, shahih).
(5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan
Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara sengaja dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia (anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia). Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.
(6) keluar mani karena bercumbu.
Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa. Lihat Al Iqna’, 1: 408-409 dan Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.
Dalam Hasyiyah Al Baijuri (1: 560) disebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa, walau karena bercumbu.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium pasangannya.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).
(7) haidh dan (8) nifas
Dari Abu Sa’id Al Khudri ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata, “Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (Muttafaqun ‘alaih).
(9) Gila dan (10) Murtad
Tiga Sunnah Puasa
(1) Menyegerakan berbuka puasa
Yang dimaksud di sini adalah ketika matahari telah benar-benar tenggelam, langsung disegerakan waktu berbuka puasa. Dalilnya adalah dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
(2) Mengakhirkan makan sahur
Makan sahur itu disepakati oleh para ulama, hukumnya sunnah (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 252). Mengenai anjuran makan sahur disebutkan dalam hadits, “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.” (Muttafaqun ‘alaih).
Mengenai sunnah mengakhirkan makan sahur di sini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi pun berdiri untuk pergi shalat, lalu beliau shalat. Kami pun berkata pada Anas, “Berapa lama jarak antara waktu selesai makan sahur dan waktu pengerjaan shalat?” Beliau menjawab, “Sekitar seseorang membaca 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih). Ibnu Hajar berkata, “Hadits di atas menunjukkan jarak antara akhir makan sahur dan mulai shalat.” (Fathul Bari, 4: 138). Ibnu Abi Jamroh mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa sahur itu diakhirkan.” (Idem)
(3) Meninggalkan kata-kata kotor
Orang yang berpuasa sangat ditekankan untuk meninggalkan ghibah (menggunjing orang lain) dan meninggalkan dusta, begitu juga meninggalkan perbuatan haram lainnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan malah melakukan konsekuensinya, maka Allah tidak pandang lagi pada makan dan minum yang ia tinggalkan.” (HR. Bukhari).
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata bahwa mencela, berdusta, ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) dan semacamnya termasuk perbuatan yang haram secara zatnya. Namun dari sisi orang yang berpuasa, hal ini lebih berbahaya karena bisa menghapuskan pahala puasa, walau puasanya itu sah dan telah dianggap menunaikan yang wajib. Sehingga perkara ini tepat dimasukkan dalam adab dan sunnah puasa. Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 347.
Yang Mendapatkan Keringanan Tidak Puasa
1- Orang yang sudah tua renta (sepuh)
Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu puasa, juga berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa sembuh sakit lagi dari sakitnya (tidak bisa diharapkan sembuhnya).
Dalil dari hal ini adalah riwayat dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya), “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin “. Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu tidaklah mansukh (dihapus). Ayat itu berlaku untuk orang yang sudah sepuh dan wanita yang sudah sepuh yang tidak mampu menjalankan puasa. Maka hendaklah keduanya menunaikan fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa.” (HR. Bukhari).
2- Wanita hamil dan menyusui
Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh shalat (shalat empat raka’at menjadi tiga raka’at), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, hasan dilihat dari jalur lainnya).
Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata mengenai ayat, “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin“, itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah sepuh yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud).
3- Orang sakit dan musafir
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. ” (QS. Al Baqarah: 185).
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. (*)
[Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Alumni Teknik Kimia UGM dan KSU Riyadh. Pernah menimba ilmu dari Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan Al Fauzan dan Syaikh Dr. Sa'ad bin Nashir Asy Syatsri di Riyadh, KSA. Pengasuh website Rumaysho.Com dan Pimred Muslim.Or.Id]
Ditulis di Karawaci, Tangerang, 17 Sya’ban 1434 H

 


PUASA DAN KEUTAMAANYA 
 


Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Puasa itu benteng, maka janganlah berkata keji dan jangan berbodoh diri. Jika seseorang menentang atau memakinya maka hendaklah ia berkata : "Sesungguhnya saya sedang berpuasa" - dua kali. Demi Dzat yang diriku di' tanganNya, bau busuknya mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari pada bau kasturi. Ia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untukKu dan Aku membalasnya. Kebaikan itu lipat sepuluhnya. (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam Allah berfirman : "Seluruh amal anak Adam baginya selain puasa, sesung­guhnya puasa itu bagiKu dan Aku membalasnya. Sungguh bau busuknya mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari pada bau kasturi". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Puasa itu bagKu, ia meninggalkan syahwatnya, makanan dan minumnya karena Aku. Puasa itu perisai. Orang yang berpuasa itu mempunyai dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka dan kesenangan ketika bertemu dengan Tuhannya. Sungguh bau busuknya mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari pada bau kasturi". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).



Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Setiap amal anak Adam baginya selain puasa, puasa itu bagiKu dan Aku membalasnya". Demi Dzat yang diriKu ditanganNya sungguh bau busuknya mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari pada bau kasturi". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Setiap amal anak Adam itu baginya selain puasa, sesungguhnya puasa itu bagiKu, dan Aku membalasnya. Puasa itu perisai. Apabila salah seorang di antaramu berpuasa pada suatu hari maka janganlah berkata keji dan jangan teriak-teriak pada hari itu. Jika salah seorang memakimu atau melawanmu maka katakanlah : "Sesungguhnya saya sedang berpuasa. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tanganNya, sungguh bau busuknya mulut orang yang berpuasa itu lebih harum disisi Allah pada hari Qiyamat dari pada bau kasturi. Orang yang berpuasa itu mendapat dua kesenangan yang dinikmatinya yaitu apabila ia berbuka, maka senang karena bukanya dan apabila bertemu dengan Tuhannya, maka ia senang karena puasanya". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).



Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya Tuhanmu berfirman : "Setiap kebaikan itu sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Puasa itu bagiKu dan Aku membalasnva. Puasa itu perisai dari neraka. Sungguh bau busuknva mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari pada bau kasturi. Jika salah seorang di antaramu sedang berpuasa dijahili oleh orang jahil maka katakanlah : "Sesungguhnya saya ini sedang berpuasa". (Hadits ditakhrij oleh Tirmidzi).



Artinya :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "HambaKu yang paling Aku cintai adalah or­ang yang paling segera berbuka". (Hadits ditakhrij oleh Tirmidzi).



Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Setiap amal anak Adam itu dilipatkan. Kebaikan dilipatkan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali, sampai sekehendak Allah. Allah berfirman : "Selain puasa, sesungguhnya puasa itu untukKu, dan Aku membalasnva, ia meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku. Orang yang berpuasa mendapat dua kesenangan yaitu kesenangan ketika berbuka dan kesenangan ketika bertemu Tuhannya. Sungguh bau busuknya mulut orang yang berpuasa itu lebih harum disisi Allah dari pada bau Kasturi". (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).



Artinya :
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Sesunguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman : "Puasa itu untukKu dan Aku membalasnya. Orang yang berpuasa itu mendapat dua kegembiraan, yaitu ketika berbuka dan ketika bertemu dengan Tuhannya. Demi Dzat Yang jiwa Muhammad di tanganNya, sungguh bau busuknva mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari pada bau kasturi."



Artinya :
Dari Abi Said al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi bertirman : "Puasa itu bagiKu dan Aku mem­balasnya. Orang yang berpuasa itu mendapat dua kegembiraan, yaitu apabila ia berbuka maka bergembira dan apabila bertemu Tuhannya dan Tuhan memberinya balasan, maka ia bergembira. Demi Dzat vang jiwa Muhammad di-tanganNya, sungguh bau busuknya mulut orang yang berpuasa itu disisi Allah lebih harum daripada bau kasturi."



Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi berfirman : "Setiap amal anak Adam itu baginya selain puasa. Puasa itu bagiKu dan Aku membalasnya. Puasa itu perisai. Apabila salah seorang dari padamu berpuasa pada suatu hari, maka janganlah ia berkata keji dan jangan berteriak­teriak. Jika ia dicaci maki atau dilawan oleh seseorang maka hendaklah ia mengatakan: "Saya ini sedang berpuasa. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tanganNya, sungguh bau busuk mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari pada bau kasturi".